Wapalhi menginjak 40 tahun

Nama saya Lili, nama rimba saya Balsem (iya balsem yang dipakai untuk pertolongan pertama karena keseleo sekaligus menghangatkan sekalipun lebih condong ke panas ya bukan hangat hahaha). Saya angkatan Wulung Adri, masuk kuliah tahun 2011 dan mengikuti pendas 27 di WAPALHI (Wahana Pecinta Lingkungan Hidup ).

Melihat WAPALHI sebentar lagi akan menginjak usia 40 tahun, sungguh membuat saya terharu, dan jika ada yang membuat saya seperti ini sekarang salah satunya adalah bergabung dengan organisasi ini. Memang saya yang saat ini yang seperti apa ?, bukan bukan, saya bukan orang dengan penghasilan tinggi, setidaknya belum, usia saya masih dalam fase berjuang hahahaha. Saya yang di usia ini merasa bahwa saya bukan lah apa apa, dan apa yang kita tahu bukanlah apa yang sebenarnya terjadi. Anak anak seperti itu lah yang setidaknya masih memposisikan diri selalu belajar, nah alhamdulillah nya dapat suami sepemikiran juga, menganggap semuanya harus di pelajari dan terus beruban. Tidak berpandangan sempit dan memiliki semangat untuk selalu berjuang karna kami punya moto dalam hidup “semuanya bisa selama kita berjuang, kalau nggak bisa lari kita bisa berjalan, kalau nggak bisa berjalan kita bisa merangkak, kalau nggak bisa merangkak kita masih bisa ngesot, dan yang pasti tidak ada pelaut hebat yang lahir dari laut yang tenang”.

Kenapa WAPALHI memiliki andil dalam hidup saya, mungkin jika bukan karna wapalhi saya hanya akan jadi mbak mbak anak akuntansi yang sibuk meniti karir dan mencari suami tajir. Sebenarnya ada banyak organisasi yang ingin saya ikuti waktu itu, ada DIMENSI karna saya suka jurnalistik, ada radio karna saya suka ngomong haha, dan ada KONSEP yang seperinya anak anaknya seru seru, tapi kemudian saya memilih WAPALHI dan bujubuset ternyata tahapan pendasnya banyak sekali yang ahirnya menggeser jadwal pendas organisasi organisasi lainnya.

Dalam pendas ini saya belajar, ternyata untuk mempersiapkan diri dalam berpetualangan di alam bebas itu butuh bekal yang sangat banyak, mulai dari materi secara teoritis kemudian praktek sesui materi yang telah di sampaikan. Ya, kalau mau naik gunung modal sehat saja bisa, cuman untuk selamat saya yakin butuh ilmu dan bekal yang tepat. Banyak sekali ilmu yang saya dapatkan mulai dari bagaimana selayaknya berpakaian yang tepat, mendirikan tenda di tempat yang tepat, membuat makanan dan bertahan hidup di alam bebas.

Ini baru materi gunung hutan, belum lagi materi caving yang sangat saya cintai. Caving adalah kegiatan menyusuri gua, tujuannya banyak, mulai dari explor, maping dan pendataan. Untuk berkegiatan dalam caving ini tidak hanya kesehatan fisik, tapi kemampuan dalam teknik SRT (single rop technique ) , tali temali, penggunaan alat juga di butuhkan. Coro kasare kwe gak iso modal sehat tok kanggo mlebu guo  kudu iso nggunakke alat. ( bahasa kasarnya kamu tidak bisa bermodal sehat saja untuk memasuki gua, harus memiliki skill yang di butuhkan ).

Saat itu dalam tim ELo (Eek Lowo, terdiri dari Saya, Werok, Gori dan Gablok), kebetulan saya cewek sendiri, saya berpikir saya harus menguasai semua materi dan teknik untuk tetap bertahan hidup di gua, saya tidak bisa mengandalkan orang lain. Oleh karena itu wajib hukumnya mempelajari semuanya, mulai dari membuat jalur masuk (rigging ), bagaimana membuat jalur, bagaimana melewati setiap jalur yang ada mulai dari intermediet, deviasi, treves, dan percayalah ketika di dalam gua untuk melewati semua itu, kamu hanya bisa mengandalkan dirimu sendiri.

Trus lili, apa korelasi atau implementasi apa yang telah kamu pelajari di WAPALHI dan kamu gunakan di kehidupan mu sekarang ?

Jadi gini, materi untuk alam bebas jelas saya dapatkan, dan itu saya gukan untuk menjaga keselamatan dalam berkegiatan di alam bebas. Tapi hal hal nonteknis banyak sekali yang saya alami dan akan saya ceritakan salah satunya;

Selama aktif di organisasi, lagi lagi saya termasuk yang jago untuk urusan teknis perSRT an (tidak bermaksud untuk sombong, tapi memang begitu kenyataannya hahaha) , tapi begitu saya mengikuti sebuah kompetisi yang mengumpulkan anak anak mapala dari sepenjuru Indonesia, apa yang bisa saya pelajari ?. Ilmu ini sangat lentur sekali, banyak teknik yang sama di lakukkandengan cara berbeda tapi sama sama memiliki tujuan yang baik. Itu sering terjadi dalam kehidupan nyata, mungkin kita berbeda sudut pandang atau cara dalam menyikapi suatu masalah dan itu nggak masalah. Dan selain itu ketika mengikuti sebuah kompetisi kita akan sadar bahwa kita nggak ada apa apanya, mungkin kita jago di rumah kita, di desa kita tapi begitu kita memperluas jangkauan kita, kita bukanlah apa apa, hal ini seharusnya membuat kita untuk menjadi orang yang lebih rendah hati dan haus akan ilmu.

Ah adalagi, ini moment yang saya ingat sampai sekarang. Saya lulus 2014 dan moment ini terjadi di 2012 kira kira 12 tahun yang lalu. Saat itu bapak mengalami pergolakan ekonomi, bapak harus kehilangan pekerjaannya. Dan saya putuskan untuk tidak lagi berada di Wapalhi karena setiap kegiatan lapangan akan memerlukan uang, saya berpikir untuk mencari pekerjaan sampingan saja saat itu.

Kemudian saya sampaikan ke senior saat itu mas Bolot (satu angkatan di atasku) “ mas aku nggak bisa lagi ikut wapalhi, ayahku kehilangan pekerjaannya, aku harus berusaha mencari uang untuk bertahan dalam perkuliahan ini “. dan saat itu yang di sampaikan mas Bolot kepada ku, “nggak papa li, nggak perlu kamu keluar dari wapahi, kalau memang nanti kita ingin masuk gua bersama yang ada uang yang menyumbang uang, yang nggak ada nanti bisa menyumbang tenaga, menyumbang semangat dan lainnya, kita bisa saling berbagi “

Dan pada kenyataannya saat itu ketika saya harus mengajar les di suatu tempat, yang mengantarkan sampai tempat tunjuan juga anak anak WAPALHI (Gori sering banget jadi pak ojek, dia satu angkatan) , yang kemudian menjemput juga anak anak WAPALHI (tetap Gori andalan), saya memiliki pekerjaan sampingan lain sebagai tour leader dan musti di jemput di Semarang kota, juga anak anak Wapalhi yang kemudia membantu (Cacing saat itu sekalipun pakai motor tua yang nggak kuat nanjak di nggombel tetap mau menjemputku dari Semarang kota ), tidak punya uang dan harus membayar uang kosan yang bantuin juga anak anak waplahi saat itu, saya sering minjam uang bidik misi dari Tuyul atau Sempak  (rekan sejawat ahahhaaha ). Hidup saya saat itu bisa di bilang susah, tapi saya bahagia.

yaaa, jadi begitulah kisah sekelumit kehidupan saya di WAPALHI, dan jadi sedikit ada gambaran dong kenapa wapalhi bisa membentuk jadi saya yang sekarang. Dan di usia yang akan 40 tahun ini, saya ucapkan terimakasih wapalhi, ternyata nyangkut di wapalhi membawa banyak ilmu dalam kehidupan saya, semoga kedepannya bisa memberi manfaat untuk generasi generasi penerus lainnya, amin Allohuma amin.


Yogyakarta, 24 januari 2023

Lili ( Balsem )

0 Comments